RSS

Author Archives: ibedtp99

Lolos Dari Maut

Karena dianggap hampir membunuh Baginda maka Abu Nawas mendapat

celaka. Dengan kekuasaan yang absolut Baginda memerintahkan prajuritprajuritnya

langsung menangkap dan menyeret Abu Nawas untuk dijebloskan ke

penjara.

Waktu itu Abu Nawas sedang bekerja di ladang karena musim tanam kentang

akan tiba. Ketika para prajurit kerajaan tiba, ia sedang mencangkul. Dan tanpa

alasan yang jelas mereka langsung menyeret Abu Nawas sesuai dengan titah

Baginda. Abu Nawas tidak berkutik. Kini ia mendekam di dalam penjara.

Beberapa hari lagi kentang-kentang itu harus ditanam. Sedangkan istrinya tidak

cukup kuat untuk melakukan pencangkulan. Abu Nawas tahu bahwa tetangga – tetangganya

tidak akan bersedia membantu istrinya sebab mereka juga sibuk

dengan pekerjaan mereka masing-masing. Tidak ada yang bisa dilakukan di

dalam ‘penjara kecuali mencari jalan keluar.

Seperti biasa Abu Nawas tidak bisa tidur dan tidak enak makan. la hanya makan

sedikit. Sudah dua hari ia meringkuk di dalam penjara. Wajahnya murung.

Hari ketiga Abu Nawas memanggil seorang pengawal. “Bisakah aku minta tolong

kepadamu?” kata Abu Nawas membuka pembicaraan.

“Apa itu?” kata pengawal itu tanpa gairah.

“Aku ingin pinjam pensil dan selembar kertas. Aku ingin menulis surat untuk

istriku. Aku harus menyampaikan sebuah rahasia penting yang hanya boleh

diketahui oleh istriku saja.”

Pengawal itu berpikir sejenak lalu pergi meninggalkan Abu Nawas.

Ternyata pengawal itu merighadap Baginda Raja untuk melapor.

Mendengar laporan dari pengawal, Baginda segera menyediakan apa yang

diminta Abu Nawas. Dalam hati, Baginda bergumam mungkin kali ini ia bisa

mengalahkan Abu Nawas:

Abu Nawas menulis surat yang berbunyi: “Wahai istriku, janganlah engkau

sekali-kali menggali ladang kita karena aku menyembunyikan harta karun dan

senjata di situ. Dan tolong jangan bercerita kepada siapa pun.”

Tentu saja surat itu dibaca oleh Baginda karena beliau ingin tahu apa

sebenarnya rahasia Abu Nawas. Setelah membaca surat itu Baginda merasa

puas dan langsung memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali

ladang Abu Nawas. Dengan peralatan yarig dibutuhkan mereka berangkat dan

langsung menggali ladang Abu Nawas. Istri Abu Nawas merasa heran.

Mungkinkah suaminya minta tolong pada mereka?

Pertanyaan itu tidak terjawab karena mereka kembali ke istana tanpa pamit.

Mereka hanya menyerahkan surat Abu Nawas kepadanya.

Lima hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya. Surat itu

berbunyi: “Mungkin suratmu dibaca sebelum diserahkan kepadaku. Karena

beberapa pekerja istana datang ke sini dua hari yang lalu, mereka menggali

seluruh ladang kita. Lalu apa yang harus kukerjakan sekarang?”

Rupanya istrinya Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya. Tetapi dengan

bijaksana Abu Nawas membalas: “Sekarang engkau bisa menanam kentang di ladang

tanpa harus menggali, wahai istriku.”

Kali ini Baginda tidak bersedia membaca surat Abu Nawas lagi. Baginda makin

mengakui keluarbiasaan akal Abu Nawas. Bahkan di dalam penjara pun Abu

Nawas masih bisa melakukan pencangkulan.

Abu Nawas masih mengeram di penjara. Namun begitu Abu Nawas masih bisa

menyelesaikan pekerjaannya dengan memakai tangan orang lain.

Baginda berpikir. Sejenak kemudian beliau segera memerintahkan sipir penjara

untuk membebaskan Abu Nawas. Baginda Raja tidak ingin menanggung resiko

yang lebih buruk. Karena akal Abu Nawas tidak bisa ditebak. Bahkan di dalam

penjara pun Abu Nawas masih sanggup menyusahkan prang. Keputusan yang

dibuat Baginda Raja untuk melepaskan Abu Nawas memang sangat tepat.

Karena bila sampai Abu Nawas bertambah sakit hati maka tidak mustahil

kesusahan yang akan ditimbulkan akan semakin gawat.

Kini hidung Abu Nawas sudah bisa menghisap udara kebebasan di luar. Istri Abu

Nawas menyambut gembira kedatangan suami yang selama ini sangat

dirindukan. Abu Nawas juga riang. Apalagi melihat tanaman kentangnya akan

membuahkan hasil yang bisa dipetik dalam waktu dekat.

Abu Nawas memang girang bukan kepalang tetapi ia juga merasa gundah.

Bagaimana Abu Nawas tidak merasa gundah gulana sebab Baginda sudah tidak

lagi memakai perangkap untuk memenjarakan dirinya. Tetapi Baginda Raja

langsung memenjarakannya. Maka tidak mustahil bila suatu ketika nanti

Baginda langsung menjatuhkan hukuman pancung. Abu Nawas yakin bahwa saat

ini Baginda pasti sedang merencanakan sesuatu. Abu Nawas menyiapkan payung

untuk menyambut hujan yang akan diciptakan Baginda Raja. Pada hari itu Abu

Nawas mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib.

Sejak membuka praktek ramal-meramal nasib, Abu Nawas sering mendapat

panggilan dari orang-orang terkenal. Kini Abu Nawas tidak saja dikenal sebagai

orang yang hartdal daiam menciptakan gelak tawa tetapi juga sebagai ahli

ramal yang jitu.

Mendengar Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal maka Baginda Raja Harun

Al Rasyid merasa khawatir. Baginda curiga jangan-jangan Abu Nawas bisa membahayakan

kerajaan. Maka tanpa pikir panjang Abu Nawas ditangkap.

Abu Nawas sejak semula yakin Baginda Raja kali ini berniat akan menghabisi

riwayatnya. Tetapi Abu Nawas tidak begitu merasa gentar. Mungkin Abu Nawas

sudah mempersiapkan tameng.

Setelah beberapa hari meringkuk di dalam penjara, Abu Nawas digiring menuju

tempat kematian. Tukang penggal kepala sudah menunggu dengan pedang yang

baru diasah. Abu Nawas menghampiri tempat penjagalan dengan amat tenang.

Baginda merasa kagum terhadap ketegaran Abu Nawas. Tetapi Baginda juga

bertanya-tanya dalam hati mengapa Abu Nawas begitu tabah menghadapi

detik-detik terakhir hidupnya. Ketika algojo sudah siap mengayunkan pedang,

Abu Nawas tertawa-tawa sehingga Baginda menangguhkan pemancungan.

Beliau bertanya, “Hai Abu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri

menghadapi pedang algojo?”

“Ngeri Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira.” jawab Abu

Nawas sambil tersenyum.

“Engkau merasa gembira?” tanya Baginda kaget.

“Betul Baginda yang mulia, karena tepat tiga hari setelah kematian hamba,

maka Baginda pun akan mangkat menyusul hamba ke Hang lahat, karena hamba

tidak bersalah sedikit pun.” kata Abu Nawas tetap tenang.

Baginda gemetar mendengar ucapan Abu Nawas. dan tentu saja hukuman

pancung dibatalkan.

Abu Nawas digiring kembali ke penjara. Baginda memerintahkan agar Abu

Nawas diperlakukan istimewa. Malah Baginda memerintahkan supaya Abu

Nawas disuguhi hidangan yang enak-enak. Tetapi Abu Nawas tetap tidak kerasa

tinggal di penjara. Abu Nawas berpesan dan setengah mengancam kepada

penjaga penjara bahwa bila ia terus-menerus mendekam dalam penjara ia bisa

jatuh sakit atau meninggal Baginda Raja terpaksa membebaskan Abu Nawas

setelah mendengar penuturan penjaga penjara.

Cita-cita atau obsesi menghukum Abu Nawas sebenarnya masih bergolak,

namun Baginda merasa kehabisan akal untuk menjebak Abu Nawas.

Seorang penasihat kerajaan kepercayaan Baginda Raja menyarankan agar

Baginda memanggil seorang ilmuwan-ulama yang berilmu tinggi untuk

menandingi Abu Nawas. Pasti masih ada peluang untuk mencari kelemahan Abu

Nawas. Menjebak pencuri harus dengan pencuri.Dan ulama dengan ulama.

Baginda menerima usul yang cemerlang itu dengan hati bulat.

Setelah ulama yang berilmu tinggi berhasil ditemukan, Baginda Raja

menanyakan cara terbaik menjerat Abu Nawas. Ulama itu memberi tahu caracara

yang paling jitu kepada Baginda Raja. Baginda Raja manggut-manggut

setuju. Wajah Baginda tidak lagi murung. Apalagi ulama itu menegaskan bahwa

ramalan Abu Nawas tentang takdir kematian Baginda Raja sama sekali tidak

mempunyai dasar yang kuat. Tiada seorang pun manusia yang tahu kapan dan

di bumi mana ia akan mati apalagi tentang ajal orang lain.

Ulama andalan Baginda Raja mulai mengadakan persiapan seperlunya untuk

memberikan pukulan fatal bagi Abu Nawas. Siasat pun dijalankan sesuai

rencana. Abu Nawas terjerembab ke lubang siasat sang ulama. Abu Nawas

melakukan kesalahan yang bisa menghantarnya ke tiang gantungan atau tempat

pemancungan.

Benarlah peribahasa yang berbunyi sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu

saat akan terpeleset. Kini, Abu Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia

akan dihukum mati karena jebakan sang ilmuwan-ulama.

Benarkah Abu Nawas sudah keok?

Kita lihat saja nanti.

Banyak orang yang merasa simpati atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang

miskin dan tertindas yang pernah ditolongnya. Namun derai air mata para

pecinta dan pengagum Abu Nawas tak akan mampu menghentikan hukuman

mati yang akan dijatuhkan.

Baginda Raja Harun Al Rasyid benar-benar menikmati kernenangannya. Belum

pernah Baginda terlihat seriang sekarang.

Keyakinan orang banyak bertambah mantap. Hanya sat orang yang tetap tidak

yakin bahwa hidup Abu Nawas aka berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas.

Bukankah Alia Azza Wa Jalla lebih dekat daripada urat leher. Tidak ada yang

tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Gagah. Dan kematian adalah mutlak

urusan-Nya. Semakin dekat hukuman mati bagi Abu Nawas. Orang banyak

semakin resah. Tetapi bagi Abu Nawas malah sebaliknya. Semakin dekat

hukuman bagi dirinya, semakin tegar hatinya.

Baginda Raja tahu bahwa ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah

merupakan bagian dari tipu dayanya. Tetapi Baginda Raja telah bersumpah

pada diri sendiri bahwa beliau tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya.

Sebaliknya Abu Nawas juga yakin, selama nyawa masih melekat maka harapan

akan terus menyertainya. Tuhan tidak mungkin menciptakan alam semesta ini

tanpa ditaburi harapan-harapan yang menjanjikan. Bahkan dalam keadaan yang

bagaimanapun gawatnya.

Keyakinan seperti inilah yang tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu.

Seketika suasana menjadi hening, sewaktu Bagin Raja memberi sambutan

singkat tentang akan dilaksanakan hukuman mati atas diri terpidana mati Abu Nawas. Kemudian tanpa memperpanjang waktu lagi Baginda Raja menanyakan

permintaan terakhir Abu Nawas. Dan pertanyaan inilah yang paling dinanti – nantikan

Abu Nawas.

“Adakah permintaan yang terakhir”

“Ada Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas singkat.

“Sebutkan.” kata Baginda.

“Sudilah kiranya hamba diperkenankan memilih hukuman mati yang hamba

anggap cocok wahai Baginda yang mulia.” pinta Abu Nawas.

“Baiklah.” kata Baginda menyetujui permintaan Abu Nawas..

bersedia dihukum pancung, tetapi jika pilihan hamba dianggap salah maka

hamba dihukum gantung saja.” kata Abu Nawas memohon.

“Engkau memang orang yang aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun

engkau masih sempat bersenda gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu muslihatmu hari ini tak akan bisa membawamu kemana-mana.” kata Baginda

sambil tertawa.

“Hamba tidak bersenda gurau Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas bersungguhsungguh.

Baginda makin terpingkal-pingkal. Belum selesai Baginda Raja tertawa-tawa,

Abu Nawas berteriak dengan nyaring.

“Hamba minta dihukum pancung!”

Semua yang hadir kaget. Orang banyak belum mengerti mengapa Abu Nawas

membuat keputusan begitu. Tetapi kecerdasan otak Baginda Raja menangkap

sesuatu yang lain. Sehingga tawa Baginda yang semula berderai-derai

mendadak terhenti. Kening Baginda berkenyit mendengar ucapan Abu Nawas.

Baginda Raja tidak berani menarik kata-katanya karena disaksikan oleh ribuan

rakyatnya.

Beliau sudah terlanjur mengabulkan Abu Nawas menentukan hukuman mati

yang paling cocok untuk dirinya.

Kini kesempatan Abu Nawas membela diri.

“Baginda yang mulia, hamba tadi mengatakan bahwa hamba akan dihukum

pancung. Kalau pilihan hamba benar maka hamba dihukum gantung. Tetapi di

manakah letak kesalahan pilihan hamba sehingga hamba harus dihukum

gantung. Padahal hamba telah memilih hukuman pancung?”

Olah kata Abu Nawas memaksa Baginda Raja dan ulama itu tercengang. Benarbenar

luar biasa otak Abu Nawas ini. Rasanya tidak ada lagi manusia pintar

selain Abu Nawas di negeri Baghdad ini.

“Abu Nawas aku mengampunimu, tapi sekarang jawablah pertanyaanku ini.

Berapa banyakkah bintang di langit?”

“Oh, gampang sekali Tuanku.”

“Iya, tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?” tanya Baginda.

“Bukan Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai.”

“Kau ini…. bagaimana bisa orang menghitung pasir di pantai?”

“Bagaimana pula orang bisa menghitung bintang di langit?”

“Ha ha ha ha ha…! Kau memang penggeli hati.

Kau adalah pelipur laraku. Abu Nawas mulai sekarang jangan segan-segan,

sering-seringlah datang ke istanaku. Aku ingin selalu mendengar leluconleluconmu

yang baru!”

“Siap Baginda !”

 (Kisah 1001 Malam AbuNawas)

 
Leave a comment

Posted by on September 6, 2011 in Kisah Abunawas

 

Tugas Yang Mustahil

Abu Nawas belum kembali. Kata istrinya ia bersarna seorang Pendeta dan

seorang Ahli Yoga sedang melakukan pengembaraan suci. Padahal saat ini

Baginda amat membutuhkan bantuan Abu Nawas. Beberapa hari terakhir ini

Baginda merencanakan membangun istana di awang-awang. Karena sebagian dari raja-raja negeri sahabat telah membangun bangunan-bangunan yang luar

biasa.

Baginda tidak ingin menunggu Abu Nawas iebih lama lagi. Beliau mengutus

beberapa orang kepercayaannya untuk mencari Abu Nawas. Mereka tidak

berhasil menemukan Abu Nawas kerena Abu Nawas ternyata sudah berada di

rumah ketika mereka baru berangkat.

Abu Nawas menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid. Baginda amat riang.

Saking gembiranya beliau mengajak Abu Nawas bergurau. Setelah saling tukar

menukar cerita-cerita lucu, lalu Baginda mulai mengutarakan rencananya.

“Aku sangat ingin membangun istana di awang-awang agar aku Iebih terkenal di

antara raja-raja yang lain. Adakah kemungkinan keinginanku itu terwujud,

wahai Abu Nawas?”

“Tidak ada yang tidak mungkin dilakukan di dunia ini Paduka yang mulia.” kata

Abu Nawas berusaha mengikuti arah pembicaraan Baginda.

“Kalau menurut pendapatmu hal itu tidak mustahil diwujudkan maka aku

serahkan sepenuhnya tugas ini kepadamu.” kata Baginda puas.

mewujudkan istana di awang-awang. Tetapi nasi telah menjadi bubur. Katakata

yang telah terlanjur didengar oleh Baginda tidak mungkin ditarik kembali.

Baginda memberi waktu Abu Nawas beberapa minggu. Rasanya tak ada yang

lebih berat bagi Abu Nawas kecuali tugas yang diembannya sekarang.

Jangankan membangun istana di langit, membangun sebuah gubuk kecil pun

sudah merupakan hal yang mustahil dikerjakan. Hanya Tuhan saja yang mampu

melakukannya. Begitu gumam Abu Nawas.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Tak ada yang dikerjakan Abu Nawas kecuali

memikirkan bagaimana membuat Baginda merasa yakin kalau yang dibangun itu

benar-benar istana di langit. Seluruh ingatannya dikerahkan dan dihubunghubungkan.

Abu Nawas bahkan berusaha menjangkau masa kanak-kanaknya.

Sampai ia ingat bahwa dulu ia pernah bermain layang-layang.

Dan inilah yang membuat Abu Nawas girang. Abu Nawas tidak menyia-nyiakan

waktu lagi. la bersama beberapa kawannya merancang layang-layang raksasa

berbentuk persegi empat. Setelah rampung baru Abu Nawas melukis pintu-pintu

serta jendela-jendela dan ornamen-ornamen lainnya.

Ketika semuanya selesai Abu Nawas dan kawan-kawannya menerbangkan

layang-layang raksasa itu dari suatu tempat yang dirahasiakan.

Begitu layang-layang raksasa berbentuk istana itu mengapung di angkasa,

penduduk negeri gempar.

Baginda Raja girang bukan kepalang. Benarkah Abu Nawas berhasil membangun

istana di langit? Dengan tidak sabar beliau didampingi beberapa orang

pengawal bergegas menemui Abu Nawas.

Abu Nawas berkata dengan bangga.

“Paduka yang mulia, istana pesanan Paduka telah rampung.”

“Engkau benar-benar hebat wahai Abu Nawas.” kata Baginda memuji Abu

Nawas.

“Terima kasih Baginda yang mulia.” kata Abu Nawas “Lalu bagaimana caranya

aku ke sana?” tanya Baginda. “Dengan tambang, Paduka yang mulia.” kata Abu

Nawas.

“Kalau begitu siapkan tambang itu sekarang. Aku ingin segera melihat istanaku

dari dekat.” kata Baginda tidak sabar.

“Maafkan hamba Paduka yang mulia. Hamba kemarin lupa memasang tambang

itu. Sehingga seorang kawan hamba tertinggal di sana dan tidak bisa turun.”

kata Abu Nawas. .

“Bagaimana dengan engkau sendiri Abu Nawas? Dengan apa engkau turun ke

bumi?” tanya Baginda.

“Dengan menggunakan sayap Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas dengan

bangga.

“Kalau begitu buatkan aku sayap supaya aku bisa terbang ke sana.” kata

Baginda.

“Paduka yang mulia, sayap itu hanya bisa diciptakan dalam mimpi.” kata Abu

Nawas menjelaskan.

“Engkau berani mengatakan aku gila sepertimu?” tanya Baginda sambil melotot.

“Ya, Baginda. Kurang lebih seperti itu.” jawab Abu Nawas tangkas.

“Apa maksudmu?” tanya Baginda lagi.

“Baginda tahu bahwa membangun istana di awang-awang adalah pekerjaan

yang mustahil dilaksanakan. Tetapi Baginda tetap menyuruh hamba

mengerjakannya. Sedangkan hamba juga tahu bahwa pekerjaan itu mustahil

dikerjakan, Tetapi hamba tetap menyanggupi titah Baginda yang tidak masuk

akal itu.” kata Abu Nawas berusaha meyakinkan Baginda.

Tanpa menoleh Baginda Raja kembali ke istana diiring para pengawalnya. Abu

Nawas berdiri sendirian sambi memandang ke atas melihat istana terapung di

awang-awang.

“Sebenarnya siapa diantara kita yang gila?” tanya Baginda mulai jengkel.

“Hamba kira kita berdua sama-sama tidak waras Tuanku.” jawab Abu Nawas

tanpa ragu.

(Kisah 1001 Malam Abu Nawas)

 
Leave a comment

Posted by on September 6, 2011 in Kisah Abunawas

 

Tipu Dibalas Tipu

Ada seorang Yogis (Ahli Yoga) mengajak seorang Pendeta bersekongkol akan

memperdaya Iman Abu Nawas. Setelah mereka mencapai kata sepakat, mereka

berangkat menemui Abu Nawas di kediamannya.

Ketika mereka datang Abu Nawas sedang melakukan salat Dhuha. Setelah

dipersilahkan masuk oleh istri Abu Nawas mereka masuk dan menunggu sambil

berbincang-bincang santai.

Seusai salat Abu Nawas menyambut mereka. Abu Nawas dan para tamunya

bercakap-cakap sejenak.

“Kami sebenarnya ingin mengajak engkau melakukan pengembaraan suci. Kalau

engkau tidak keberatan bergabunglah bersama kami.” kata Ahli Yoga.

“Dengan senang hati. Lalu kapan rencananya?” tanya Abu Nawas polos.

“Besok pagi.” kata Pendeta.

“Baiklah kalau begitu kita bertemu di warung teh besok.” kata Abu Nawas

menyanggupi.

Hari berikutnya mereka berangkat bersama. Abu Nawas mengenakan jubah

seorang Sufi. Ahli Yoga dan Pendeta memakai seragam keagamaan mereka

masing-masing. Di tengah jalan mereka mulai diserang rasa lapar karena

mereka memang sengaja tidak membawa bekal.

“Hai Abu Nawas, bagaimana kalau engkau saja yang mengumpulkan derma guna

membeli makanan untuk kita bertiga. Karena kami akan mengadakan

kebaktian.” kata Pendeta. Tanpa banyak bicara Abu Nawas berangkat mencari

dan mengumpulkan derma dari dusun satu ke dusun lain. Setelah derma

terkumpul, Abu Nawas membeli makanan yang cukup untuk tiga orang. Abu

Nawas kembali ke Pendeta dan Ahli Yoga dengan membawa makanan. Karena

sudah tak sanggup menahan rasa lapar Abu Nawas berkata,

“Mari segera kita bagi makanan ini sekarang juga.” “Jangan sekarang. Kami

sedang berpuasa.” kata Ahli Yoga.

“Tetapi aku hanya menginginkan bagianku saja sedangkan bagian kalian

terserah pada kalian.” kata Abu Nawas menawarkan jalan keluar.

“Aku tidak setuju. Kita harus seiring seirama dalam berbuat apa pun:” kata

Pendeta.

“Betul aku pun tidak setuju karena waktu makanku besok pagi.

Besok pagi aku baru akan berbuka.” kata Ahli Yoga.

“Bukankah aku yang engkau jadikan alat pencari derma Dan derma itu sekarang

telah kutukar dengan makanan ini. Sekarang kalian tidak mengijinkan aku

mengambil bagian sendiri. Itu tidak masuk akal.” kata Abu Nawas mulai mera

jengkel. Namun begitu Pendeta dan Ahli Yoga tetap bersikeras tidak

mengijinkan Abu Nawas mengambil bagian yang menja haknya.

Abu Nawas penasaran. la mencoba sekali lagi meyakinkan kawan-kawannya

agar mengijinkan ia memakan bagianya. Tetapi mereka tetap saja menolak.

Abu Nawas benar-benar merasa jengkel dan marah. Namun Abu Nawas tid

memperlihatkan sedikit pun kejengkelan dan kemarahannya.

“Bagaimana kalau kita mengadakan perjanjian.” kata Pendeta kepada Abu

Nawas.

“Perjanjian apa?” tanya Abu Nawas.

“Kita adakan lomba. Barangsiapa di antara kita bermimpi paling indah maka ia

akan mendapat bagian yang terbanyak yang kedua lebih sedikit dan yang

terburuk akan mendapat paling sedikit.” Pendeta itu menjelaskan.

Abu Nawas setuju. la tidak memberi komentar apa-apa.

IVfalam semakin larut. Embun mulai turun ke bumi. Pendeta dan Ahli Yoga

mengantuk dan tidur. Abu Nawas tidak bisa tidur. la hanya berpura-pura tidur.

Setelah merasa yakin kawan-kawannya sudah terlelap Abu Nawas menghampiri

makanan itu. Tanpa berpikir dua kali Abu Nawas memakan habis makanan itu

hinggatidak tersisa sedikit pun. Setelah merasa kekenyangan Abu Nawas baru

bisa tidur.

Keesokan hari mereka bangun hampir bersamaan. Ahli Yoga dengan wajah

berseri-seri bercerita,

“Tadi malam aku bermimpi memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan

Nirvana. Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya

dalam hidup ini.”

Pendeta mengatakan bahwa mimpi Ahli Yoga benar-benar menakjubkan. Betulbetul

luar biasa. Kemudian giliran Pendeta menceritakan mimpinya.

“Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Dan temyata memang benar. Aku

secara tidak sengaja berhasil menyusup ke masa silam dimana pendiri agamaku

hidup. Aku bertemu dengan beliau dan yang lebih membahagiakan adalah aku

diberkatinya.”

Ahli Yoga juga memuji-muji kehebatan mimpi Pendeta, Abu Nawas hanya diam.

la bahkan tidak merasa tertarik sedikitpun.

Karena Abu Nawas belum juga buka mulut, Pendeta dai Ahli Yoga mulai tidak

sabar untuk tidak menanyakan mimpi Abu Nawas.

berpuasa. Tadi malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan beliau. Beliau

menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Aku katakan aku berpuasa karena

aku memang tidak makan sejak dini hari Kemudian beliau menyuruhku segera

berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani mengabaikan

perintah beliau. Aku segera bangun dari tidur dan langsung menghabiskan

makanan itu.” kata Abu Nawas tanpa perasaa bersalah secuil pun.

Sambil menahan rasa lapar yang menyayat-nyayat Pendeta dan Ahli Yoga saling

berpandangan satu sama lain.

Kejengkelan Abu Nawas terobati.

Kini mereka sadar bahwa tidak ada gunanya coba-coba mempermainkan Abu

Nawas, pasti hanya akan mendapat celaka sendiri.

(Kisah 1001 Malam AbuNawas )

 
Leave a comment

Posted by on September 6, 2011 in Kisah Abunawas

 

Cara Memilih Jalan

Kawan-kawan Abu Nawas merencanakan akan mengadakan perjalanan wisata

ke hutan. Tetapi tanpa keikutsertaan Abu Nawas perjalanan akan terasa

memenatkan dan membosankan. Sehingga mereka beramai-ramai pergi ke

rumah Abu Nawas untuk mengajaknya ikut serta. Abu Nawas tidak keberatan.

Mereka berangkat dengan mengendarai keledai masing-masing sambil

bercengkrama.

Tak terasa mereka telah menempuh hampir separo perjalanan. Kini mereka

tiba di pertigaan jalan yang jauh dari perumahan penduduk. Mereka berhenti

karena mereka ragu-ragu. Setahu mereka kedua jalan itu memang menuju ke

hutan tetapi hutan yang mereka tuju adalah hutan wisata. Bukan hutan yang

dihuni binatang-binatang buas yang justru akan membahayakan jiwa mereka.

Abu Nawas hanya bisa menyarankan untuk tidak meneruskan perjalanan karena

bila salah pilih maka mereka semua tak akan pernah bisa kembali. Bukankah

lebih bijaksana bila kita meninggalkan sesuatu yang meragukan? Tetapi salah

seorang dari mereka tiba-tiba berkata,

“Aku mempunyai dua orang sahabat yang tinggal dekat semak-semak sebelah

sana. Mereka adalah saudara kembar. Tak ada seorang pun yang bisa

membedakan keduanya karena rupa mereka begitu mirip. Yang satu selalu

berkata jujur sedangkan yang lainnya selalu berkata bohong. Dan mereka

adalah orang-orang aneh karena mereka hanya mau menjawab satu pertanyaan

saja.”

“Apakah engkau mengenali salah satu dari mereka yang selalu berkata benar?”

tanya Abu Nawas.

“Tidak.” jawab kawan Abu Nawas singkat.

“Baiklah kalau begitu kita beristirahat sejenak.” usul Abu Nawas.

Abu Nawas makan daging dengan madu bersama kawan-kawannya.

Seusai makan mereka berangkat menuju ke rumah yang dihuni dua orang

kembar bersaudara. Setelah pintu dibuka, maka keluarlah salah seorang dari

dua orang kembar bersaudara itu.

“Maaf, aku sangat sibuk hari ini. Engkau hanya boleh mengajukan satu

pertanyaan saja. Tidak boleh lebih.” katanya. Kemudian Abu Nawas menghampiri orang itu dan berbisik. Orang itu pun juga menjawab dengan cara

berbisik pula kepada Abu Nawas. Abu Nawas mengucapkan terima kasih dan

segera mohon diri.

“Hutan yang kita tuju melewati jalan sebelah kanan.” kata Abu Nawas mantap

kepada kawan-kawannya.

“Bagaimana kau bisa memutuskan harus menempuh jalan sebelah kanan?

Sedangkan kita tidak tahu apakah orang yang kita tanya itu orang yang selalu

berkata benar atau yang selalu berkata bohong?” tanya salah seorang dari

mereka.

“Karena orang yang kutanya menunjukkan jalan yang sebelah kiri.” kata Abu

Nawas.

Karena masih belum mengerti juga, maka Abu Nawas menjelaskan. “Tadi aku

bertanya: Apa yang akan dikatakan saudaramu bila aku bertanya jalan yang

mana yang menuju hutan yang indah?” Bila jalan yang benar itu sebelah kanan

dan bila orang itu kebetulan yang selalu berkata benar maka ia akan

menjawab: Jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara Kembarnya akan

mengatakan jalan sebelah kiri sebab saudara kembarnya selalu berbohong. Bila

orang itu kebetulan yang selalu berkata bohong, maka ia akan menjawab: jalan

sebelah kiri, karena ia tahu saudara kembarnya akan mengatakan jalan sebelah

kiri sebab saudara kembarnya selalu berkata benar.  (Kisah 1001 Malam  AbuNawas)

 
Leave a comment

Posted by on September 6, 2011 in Kisah Abunawas

 

Islam adalah Agama pembawa Keselamatan

Suatu hari Abu Nawas dipanggil Baginda.

“Abu Nawas.” kata Baginda Raja Harun Al Rasyid memulai pembicaraan.

“Daulat Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas penuh takzim.

“Aku harus berterus terang kepadamu bahwa kali ini engkau kupanggil bukan

untuk kupermainkan atau kuperangkap. Tetapi aku benar-benar memerlukan

bantuanmu.” kata Baginda bersungguh-sungguh.

“Gerangan apakah yang bisa hamba lakukan untuk Paduka yang mulia?” tanya

Abu Nawas.

“Ketahuilah bahwa beberapa hari yang lalu aku mendapat kunjungan

kenegaraan dari negeri sahabat. Kebetulan rajanya beragama Yahudi. Raja itu

adalah sahabat karibku. Begitu dia berjumpa denganku dia langsung

mengucapkan salam secara Islam, yaitu Assalamualaikum (kesejahteraan buat

kalian semua) Aku tak menduga sama sekali. Tanpa pikir panjang aku

menjawab sesuai dengan yang diajarkan oleh agama kita, yaitu kalau mendapat

salam dari orang yang tidak beragama Islam hendaklah engkau jawab dengan

Wassamualaikum (Kecelakaan bagi kamu) Tentu saja dia merasa tersinggung.

Dia menanyakan mengapa aku tega membalas salamnya yang penuh doa

keselamatan dengan jawaban yang mengandung kecelakaan. Saat itu sungguh

aku tak bisa berkata apa-apa selain diam. Pertemuanku dengan dia selanjutnya

tidak berjalan dengan semestinya. Aku berusaha menjelaskan bahwa aku hanya melaksanakan apa yang dianjurkan oleh ajaran agama Islam. Tetapi dia tidak

bisa menerima penjelasanku. Aku merasakan bahwa pandangannya terhadap

agama Islam tidak semakin baik, tetapi sebaliknya. Dan sebelum kami berpisah

dia berkata: Rupanya hubungan antara. kita mulai sekarang tidak semakin baik,

tetapi sebaliknya. Namun bila engkau mempunyai alasan laih yang bisa aku

terima, kita akan tetap bersahabat.” kata Baginda menjelaskan dengan wajah

yang amat murung.

“Kalau hanya itu persoalannya, mungkin, hamba bisa memberikan alasan yang

dikehendaki rajaf sahabat Paduka itu yang mulia.” kata Abu Nawas meyakinkan

Baginda.

Mendengar kesanggupan Abu Nawas, Baginda amat riang. Beliau berulang-ulang

menepuk pundak Abu Nawas. Wajah Baginda yang semula gundah gulana

seketika itu berubah cerah secerah matahari di pagi hari.

“Cepat katakan, wahai Abu Nawas. Jangan biarkan aku menunggu.” kata

Baginda tak sabar.

“Baginda yang mulia, memang sepantasnyalah kalau raja Yahudi itu

menghaturkan ucapan salam keselamatan dan kesejahteraan kepada Baginda.

Karena ajaran Islam memang menuju keselamatan (dari siksa api neraka) dan

kesejahteraan (surga) Sedangkan Raja Yahudi itu tahu Baginda adalah orang

Islam. Bukankah Islam mengajarkan tauhid (yaitu tidak menyekutukan Allah

dengan yang lain, juga tidak menganggap Allah mempunyai anak. Ajaran tauhid

ini tidak dimiliki oleh agama-agama lain termasuk agama yang dianut Raja

Yahudi sahabat Paduka yang mulia. Ajaran agama Yahudi menganggap Uzair adalah anak Allah seperti orang Nasrani beranggapan Isa anak Allah. Maha Suci

Allah dari segala sangkaan mereka.Tidak pantas Allah mempunyai anak.

Sedangkan orang Islam membalas salam dengan ucapan Wassamualaikum

(kecelakaan bagi kamu) bukan berarti kami mendoakan kamu agar celaka.

Tetapi semata-mata karena ketulusan dan kejujuran ajaran Islam yang masih

bersedia memperingatkan orang lain atas kecelakaan yang akan menimpa

mereka bila mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan yang keliru itu,

yaitu tuduhan mereka bahwa Allah Yang Maha Pengasih mempunyai anak.” Abu

Nawas menjelaskan.

Seketika itu kegundahan Baginda Raja Harun Al Rasyid sirna. Kali ini saking

gembiranya Baginda menawarkan Abu Nawas agar memilih sendiri hadiah apa

yang disukai. Abu Nawas tidak memilih apa-apa karena ia berkeyakinan bahwa

tak selayaknya ia menerima upah dari ilmu agama yang ia sampaikan.  (Kisah 1001 Malam AbuNawas)

 
Leave a comment

Posted by on September 6, 2011 in Kisah Abunawas

 

Ketenangan Hati

Sudan lama Abu nawas tidak dipanggil ke istana untuk menghadap Baginda.

Abunawas juga sudah lama tidak muncul di kedai teh. Kawan-kawan Abunawas

banyak yang merasa kurang bergairah tanpa kehadiran Abu nawas. Tentu saja

keadaan kedai tak semarak karena Abu nawas si pemicu tawa tidak ada.

Suatu hari ada seorang laki-laki setengah baya ke kedai teh menanyakan Abu

nawas. la mengeluh bahwa ia tidak menemukan jalan keluar dari rnasalah pelik

yang dihadapi.

Salah seorang teman Abunawas ingin mencoba menolong.

“Cobalah utarakan kesulitanmu kepadaku barang-kali aku bisa membantu.” kata

kawan Abunawas.

“Baiklah. Aku mempunyai rumah yang amat sempit. Sedangkan aku tinggal

bersama istri dan kedelapan anak-anakku. Rumah itu kami rasakan terlalu

sempit sehingga kami tidak merasa bahagia.” kata orang itu membeberkan

kesulitannya.

Kawan Abunawas tidak mampu memberikan jalan keluar, juga yang lainnya.

Sehingga mereka menyarankan agar orang itu pergi menemui Abunawas di

rumahnya saja.

Orang itu pun pergi ke rumah Abunawas. Dan kebetulan Abu Nawas sedang

mengaji. Setelah mengutarakan kesulitan yang sedang dialami, Abunawas

bertanya kepada orang itu.

“Punyakah engkau seekor domba?”

“Tidak tetapi aku mampu membelinya.” jawab orang itu.

“Kalau begitu belilah seekor dan tempatkan domba itu di dalam rumahmu.”

Abunawas menyarankan.

Orang itu tidak membantah. la langsung membeli seekor domba seperti yang

disarankan Abunawas.

Beberapa hari kemudian orang itu datang lagi menemui Abu Nawas.

“Wahai Abunawas, aku telah melaksanakan saranmu, tetapi rumahku

bertambah sesak. Aku dan keluargaku merasa segala sesuatu menjadi lebih

buruk dibandingkan sebelum tinggal bersama domba.” kata orang itu mengeluh.

“Kalau begitu belilah lagi beberapa ekor unggas dan tempatkan juga mereka di

dalam rumahmu:” kata Abunawas.

Orang itu tidak membantah. la langsung membeli beberapa ekor unggas yang

kemudian dimasukkan ke dalam rumahnya. Beberapa hari kemudian orang itu

datang lagi ke rumah Abu Nawas.

“Wahai Abu Nawas,aku telah melaksanakan saran-saranmu dengan menambah

penghuni rumahku dengan beberapa ekor unggas. Namun begitu aku dan

keluargaku semakin tidak betah tinggal di rumah yang makin banyak pernghuninya. Kami bertambah merasa tersiksa.” kata orang itu dengan wajah

yang semakin muram.

“Kalau begitu belilah seekor anak unta dan peliharalah di dalam rumahmu.”kata

Abu Nawas menyarankan

Orang itu tidak membantah. la langsung ke pasar hewan membeli seekor anak

unta untuk dipelihara di dalam rumahnya.

Beberapa hari kemudian orang itu datang lagi menemui Abu Nawas. la berkata,

“Wahai Abu Nawas, tahukah engkau bahwa keadaan di dalam rumahku sekarang

hampir seperti neraka. Semuanya berubah menjadi lebih mengerikan dari pada

hari-hari sebelumnya. Wahai Abu Nawas, kami sudah tidak tahan tinggal

serumah dengan binatang-binatang itu.” kata orang itu putus asa.

“Baiklah, kalau kalian sudah merasa tidak tahan maka juallah anak unta itu.”

kata Abu Nawas.

Orang itu tidak membantah. la langsung menjual anak unta yang baru

dibelinya.

Beberapa hari kemudian Abu Nawas pergi ke rumah orang itu

“Bagaimana keadaan kalian sekarang?” Abu Nawas bertanya.

“Keadaannya sekarang lebih baik karena anak unta itu sudah tidak lagi tinggal

disini.” kata orang itu tersenyum. “Baiklah, kalau begitu sekarang juallah

unggas-unggasmu.” kata Abu Nawas.

Orang itu tidak membantah. la langsung menjual unggas-unggasnya.

Beberapa hari kemudian Abu Nawas mengunjungi orang itu.

“Bagaimana keadaan rumah kalian sekarang ?” Abu Nawas bertanya.

“Keadaan sekarang lebih menyenangkan karena unggas-unggas itu sudah tidak

tinggal bersama kami.” kata orang itu dengan wajah ceria.

“Baiklah kalau begitu sekarang juallah domba itu.” kata Abu Nawas.

Orang itu tidak membantah. Dengan senang hati ia langsung menjual

dombanya.

Beberapa hari kemudian Abu Nawas bertamu ke rumah orang itu. la bertanya,

“Bagaimana keadaan rumah kalian sekarang ?” “Kami merasakan rumah kami

bertambah luas karena binatang-binatang itu sudah tidak lagi tinggal bersama

kami. Dan kami sekarang merasa lebih berbahagia daripada dulu. Kami

mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepadamu hai Abu Nawas.” kata

orang itu dengan wajah berseri-seri.

“Sebenarnya batas sempit dan luas itu tertancap dalam pikiranmu. Kalau

engkau selalu bersyukur atas nikmat dari Tuhan maka Tuhan akan mencabut

kesempitan dalam hati dan pikiranmu.” kata Abu Nawas menjelaskan.

Dan sebelum Abu Nawas pulang, ia bertanya kepada orang itu,

“Apakah engkau sering berdoa ?”

“Ya.” jawab orang itu.

“Ketahuilah bahwa doa seorang hamba tidak mesti diterima oleh Allah karena

manakala Allah membuka pintu pemahaman kepada engkau ketika Dia tidak

memberi engkau, maka ketiadaan pemberian itu merupakan pemberian yang

sebenarnya.”  (Kisah 1001 Malam  AbuNawas)

 
Leave a comment

Posted by on September 6, 2011 in Kisah Abunawas

 

Abu Nawas Mati

Semenjak peristiwa Baginda Raja di jadikan budak oleh AbuNawas, Baginda Raja sangat marah dan langsung pulang ke istana dan langsung memerintahkan para prajuritnya

menangkap Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas telah hilang entah kemana karena ia

tahu sedang diburu para prajurit kerajaan. Dan setelah ia tahu para prajurit

kerajaan sudah meninggalkan rumahnya, Abu Nawas baru berani pulang ke

rumah.

 “Suamiku, para prajurit kerajaan tadi pagi mencarimu.”

“Ya istriku, ini urusan gawat. Aku baru saja menjual Sultan Harun Al Rasyid

menjadi budak.”

“Apa?”

“Raja kujadikan budak!”

“Kenapa kau lakukan itu suamiku.”

“Supaya dia tahu di negerinya ada praktek jual beli budak. Dan jadi budak itu

sengsara.”

“Sebenarnya maksudmu baik, tapi Baginda pasti marah. Buktinya para prajurit

diperintahkan untuk menangkapmu.”

“Menurutmu apa yang akan dilakukan Sultan Harun Al Rasyid kepadaku.”

 “Pasti kau akan dihukum berat.”

“Gawat, aku akan mengerahkan ilmu yang kusimpan,”

Abu Nawas masuk ke dalam, ia mengambil air wudhu lalu mendirikan shalat dua

rakaat. Lalu berpesan kepada istrinya apa yang harus dikatakan bila Baginda

datang.

Tidak berapa alama kemudian tetangga Abu Nawas geger, karena istri Abu

Nawas menjerit-jerit.

“Ada apa?” tanya tetangga Abu Nawas sambil tergopoh-gopoh.

“Huuuuuu …. suamiku mati….!”

“Hah! Abu Nawas mati?”

“lyaaaa….!”

 Kini kabar kematian Abu Nawas tersebar ke seluruh pelosok negeri. Baginda

terkejut. Kemarahan dan kegeraman beliau agak susut mengingat Abu Nawas

adalah orang yang paling pintar menyenangkan dan menghibur Baginda Raja.

Baginda Raja beserta beberapa pengawai beserta seorang tabib (dokter) istana,

segera menuju rumah Abu Nawas. Tabib segera memeriksa Abu Nawas. Sesaat

kemudian ia memberi laporan kepada Baginda bahwa Abu Nawas memang telah

mati beberapa jam yang lalu.

Setelah melihat sendiri tubuh Abu Nawas terbujur kaku tak berdaya, Baginda

Raja marasa terharu dan meneteskan air mata. Beliau bertanya kepada istri

Abu Nawas.

“Adakah pesan terakhir Abu Nawas untukku?”

“Ada Paduka yang mulia.” kata istri Abu Nawas sambil menangis.

“Katakanlah.” kata Baginda Raja.

“Suami hamba, Abu Nawas, memohon sudilah kiranya Baginda Raja mengampuni

semua kesalahannya dunia akhirat di depan rakyat.” kata istri Abu Nawas

terbata-bata.

 “Baiklah kalau itu permintaan Abu Nawas.” kata Baginda Raja menyanggupi.

Jenazah Abu Nawas diusung di atas keranda. Kemudian Baginda Raja

mengumpulkan rakyatnya di tanah lapang.

Beliau berkata, “Wahai rakyatku, dengarkanlah bahwa hari ini aku, Sultan

Harun Al Rasyid telah memaafkan segala kesalahan Abu Nawas yang telah

diperbuat terhadap diriku dari dunia hingga akhirat. Dan kalianlah sebagai

saksinya.”

Tiba-tiba dari dalam keranda yang terbungkus kain hijau terdengar suara keras,

“Syukuuuuuuuur …… !”

Seketika pengusung jenazah ketakukan, apalagi melihat Abu Nawas bangkit

berdiri seperti mayat hidup. Seketika rakyat yang berkumpul lari tunggang

langgang, bertubrukan dan banyak yang jatuh terkilir. Abu Nawas sendiri segera

berjalan ke hadapan Baginda. Pakaiannya yang putih-putih bikin Baginda keder

juga.

“Kau… kau…. sebenarnya mayat hidup atau memang kau hidup lagi?” tanya

Baginda dengan gemetar.

 “Hamba masih hidup Tuanku. Hamba mengucapkan terima kasih yang tak

terhingga atas pengampunan Tuanku.”

“Jadi kau masih hidup?”

“Ya, Baginda. Segar bugar, buktinya kini hamba merasa lapar dan ingin segera

pulang.”

“Kurang ajar! Ilmu apa yang kau pakai Abu Nawas?

“Ilmu dari mahaguru sufi guru hamba yang sudah meninggal dunia…”

“Ajarkan ilmu itu kepadaku…”

“Tidak mungkin Baginda. Hanya guru hamba yang mampu melakukannya.

Hamba tidak bisa mengajarkannya sendiri.”

“Dasar pelit !” Baginda menggerutu kecewa.  (Kisah 1001 Malam AbuNawas)

 
Leave a comment

Posted by on September 6, 2011 in Kisah Abunawas

 

Raja Dijadikan Budak

Kadangkala untuk menunjukkansesuatu kepada sang Raja, Abu Nawas tidak bisa

hanya sekedar melaporkannya secara lisan. Raja harus mengetahuinya dengan

mata kepala sendiri, bahwa masih banyak di antara rakyatnya yang hidup

sengsara. Ada saja praktek jual beli budak.

Dengan tekad yang amat bulat Abu Nawas merencanakan menjuai Baginda

Raja. Karena menurut Abu Nawas hanya Baginda Raja yang paling patut untuk

dijual. Bukankah selama ini Baginda Raja selalu miempermainkan dirinya dan

menyengsarakan pikirannya? Maka sudah sepantasnyalah kalau sekarang giliran

Abu Nawas mengerjai Baginda Raja.

Abu Nawas menghadap dan berkata kepada Baginda Raja Harun Al Rasyid.

“Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada

Paduka yang mulia.”

“Apa itu wahai Abu Nawas?” tanya Baginda langsung tertarik.

 

“Sesuatu yang hamba yakin belum pernah terlintas di dalam benak Paduka yang

mulia.” kata Abu Nawas meyakinkan.

“Kalau begitu cepatlah ajak aku ke sana untuk menyaksikannya.” kata Baginda

Raja tanpa rasa curiga sedikit pun.

“Tetapi Baginda … ” kata Abu Nawas sengaja tidak melanjutkan kalimatnya.

“Tetapi apa?” tanya Baginda tidak sabar.

“Bila Baginda tidak menyamarsebagai rakyat biasa maka pasti nanti orang-orang

akan banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu.” kata Abu Nawas.

Karena begitu besar keingintahuan Baginda Raja, maka beliau bersedia

menyamar sebagai rakyat biasa seperti yang diusulkan Abu Nawas.

Kemudian Abu Nawas dan Baginda Raja Harun Al Rasyid berangkat menuju ke

sebuah hutan.

 

Setibanya di hutan Abu Nawas mengajak Baginda Raja mendekati sebuah pohon

yang rindang dan memohon Baginda Raja menunggu di situ. Sementara itu Abu

Nawas menemui seorang badui yang pekerjaannya menjuai budak. Abjj Nawas

mengajak pedagang budak itu untuk mettrtat calon budak yang akan dijual

kepadanya dari jarak yang agak jauh. Abu Nawas beralasan bahwa sebenarnya

calon budak itu adalah teman dekatnya. Dari itu Abu Nawas tidak tega

menjualnya di depan mata. Setelah pedagang budak itu memperhatikan dari

kejauhan ia merasa cocok. Abu Nawas pun membuatkan surat kuasa yang

menyatakan bahwa pedagang budak sekarang mempunyai hak penuh atas diri

orang yang sedang duduk di bawah pohon rindang itu. Abu Nawas pergi begitu

menerima beberapa keping uang emas dari pedagang budak itu.

Baginda Raja masih menunggu Abu Nawas di situ ketika pedagang budak

menghampirinya. la belum tahu mengapa Abu Nawas belum juga menampakkan

batang hidungnya. Baginda juga merasa heran mengapa ada orang lain di situ.

“Siapa engkau?” tanya Baginda Raja kepada pedagang budak.

“Aku adalah tuanmu sekarang.” kata pedagang budak itu agak kasar.

Tentu saja pedagang budak itu tidak mengenali Baginda Raja Harun Al Rasyid

dalam pakaian yang amat sederhana.

“Apa maksud perkataanmu tadi?” tanya Baginda Raja dengan wajah merah

padam.

 

“Abu Nawas telah menjual engkau kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru

dibuatnya.” kata pedagang budak dengan kasar.

“Abu Nawas menjual diriku kepadamu?” kata Baginda makin murka.

“Ya!” bentak pedagang budak.

“Tahukah engkau siapa aku ini sebenarnya?” tanya Baginda geram.

“Tidak dan itu tidak perlu.” kata pedagang budak seenaknya. Lalu ia menyeret

budak barunya ke belakang rumah. Sultan Harun Al Rasyid diberi parang dan

diperintahkan untuk membelah kayu.

Begitu banyak tumpukan kayu di belakang rumah badui itu sehingga

memandangnya saja Sultan Harun Al Rasyid sudah merasa ngeri, apalagi harus

mengerjakannya.

“Ayo kerjakan!”

 

Sultan Harun Al Rasyid mencoba memegang kayu dan mencoba membelahnya,

namun si badui melihat cara Sultan Harun Al Rasyid memegang parang merasa

aneh.

“Kau ini bagaimana, bagian parang yang tumpul kau arahkan ke kayu, sungguh

bodoh sekali !”

Sultan Harun Al Rasyid mencoba membalik parang hingga bagian yang tajam

terarah ke kayu. la mencoba membelah namun tetap saja pekerjaannya terasa

aneh dan kaku bagi si badui.

“Oh, beginikah derita orang-orang miskin mencari sesuap nasi, harus bekerja

keras lebih dahulu. Wah lama-lama aku tak tahan juga.” gumam Sultan Harun Al

Rasyid.

Si badui menatap Sultan Harun Al Rasyid dengan pandangan heran dan lamalama

menjadi marah. la merasa rugi barusan membeli budak yang bodoh.

“Hai badui! Cukup semua ini aku tak tahan.”

 

“Kurang ajar kau budakku harus patuh kepadaku!” kata badui itu sembari

memukul baginda. Tentu saja raja yang tak pernah disentuh orang iki menjerit

keras saat dipukul kayu.

“Hai badui! Aku adalah rajamu, Sultan Harun Al Rasyid.” kata Baginda sambil

menunjukkan tanda kerajaannya.

Pedagang budak itu kaget dan mulai mengenal Baginda Raja.

la pun langsung menjatuhkan diri sembari menyembah Baginda Raja. Baginda

Raja mengampuni pedagang budak itu karena ia memang tidak tahu. Tetapi

kepada Abu Nawas Baginda Raja amat murka dan gemas. Ingin rasanya beliau

meremas-remas tubuh Abu Nawas seperti telur.  (Kisah 1001 Malam AbuNawas)

 
Leave a comment

Posted by on September 6, 2011 in Kisah Abunawas

 

Merayu Tuhan

Abu Nawas sebenarnya adalah seorang ulama yang alim. Tak begitu

mengherankan jika Abu Nawas mempunyai murid yang tidak sedikit.

Diantara sekian banyak muridnya, ada satu orang yang hampir selalu

menanyakan mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu. Suatu ketika

ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang

sama. Orang pertama mulai bertanya,

“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau

orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”

“Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil.” jawab Abu Nawas.

“Mengapa?” kata orang pertama.

“Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan.” kata Abu Nawas.

Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu.

Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Manakah yang lebih

utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan

dosa-dosa kecil?”

“Orang yang tidak mengerjakan keduanya.” jawab Abu Nawas.

“Mengapa?” kata orang kedua.

“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan

dari Tuhan.” kata Abu Nawas. Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban

Abu Nawas.

Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Manakah yang iebih

utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan

dosa-dosa kecil?”

“Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar.” jawab Abu Nawas.

“Mengapa?” kata orang ketiga.

“Sebab pengampunan Allah kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa

hamba itu.” jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima aiasan Abu Nawas.

Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas.

Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya.

“Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang

berbeda?”

“Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan

hati.”

“Apakah tingkatan mata itu?” tanya murid Abu Nawas. “Anak kecil yang melihat

bintang di langit. la mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya

menggunakan mata.” jawab Abu Nawas mengandaikan.

“Apakah tingkatan otak itu?” tanya murid Abu Nawas. “Orang pandai yang

melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia

berpengetahuan.” jawab Abu Nawas.

“Lalu apakah tingkatan hati itu?” tanya murid Abu Nawas.

“Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap

mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi

orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan

dengan KeMaha-Besaran Allah.”

Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa

menghasilkan jawaban yang berbeda. la bertanya lagi.

“Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?”

“Mungkin.” jawab Abu Nawas.

“Bagaimana caranya?” tanya murid Abu Nawas ingin tahu.

“Dengan merayuNya melalui pujian dan doa.” kata Abu Nawas

“Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru.” pinta murid Abu Nawas

“Doa itu adalah : llahi lastu HI firdausi ahla, wala aqwa’alan naril jahimi, fahabli

taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil ‘adhimi.

Sedangkan arti doa itu adalah : Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi

penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh

sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya

Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar. (Kisah 1001 Malam Abu Nawas)

 
Leave a comment

Posted by on September 6, 2011 in Kisah Abunawas

 

Batas Jagad Raya

Baginda Raja Harun Al Rasyid kelihatan murung. Semua menterinya tidak ada

yang sanggup menemukan jawaban dari dua pertanyaan Baginda. Bahkan para penasihat kerajaan pun merasa tidak mampu memberi penjelasan yang

memuaskan Baginda. Padahal Baginda sendiri ingin mengetahui jawaban yang

sebenarnya.

Mungkin karena amat penasaran, para penasihat Baginda menyarankan agar

Abu Nawas saja yang memecahkan dua teka-teki yang membingungkan itu.

Tidak begitu lama Abu Nawas dihadapkan. Baginda mengatakan bahwa akhir akhir

ini ia sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua

rahasia alam.

“Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang manakah yang Paduka

maksudkan?” tanya Abu Nawas ingin tahu.

” Aku memanggilmu untuk menemukan jawaban dari dua teka-teki yang selama

ini menggoda pikiranku.” kata Baginda.

“Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan

hamba.”

“Yang pertama, di manakah sebenarnya batas jagat raya ciptaan Tuhan kita?”

tanya Baginda.

“Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas tanpa sedikit

pun perasaan ragu, “Tuanku yang mulia,” lanjut Abu Nawas ‘ketidakterbatasan

itu ada karena adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh

Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu manusia tidak akan pernah tahu di mana

batas jagat raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak akan mampu mengukur

sesuatu yang tidak terbatas.”

Baginda mulai tersenyum karena merasa puas mendengar penjelasan Abu

Nawas yang masuk akal. Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.

“Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya : bintang-bintang di

langit ataukah ikan-ikan di laut?”

“Ikan-ikan di laut.” jawab Abu Nawas dengan tangkas.

“Bagaimana kau bisa langsung memutuskan begitu. Apakah engkau pernah

menghitung jumlah mereka?” tanya Baginda heran.

“Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari

ditangkapi dalam jumlah besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak

seolah-olah tidak pernah berkurang karena saking banyaknya. Sementara

bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak.” jawab

Abu Nawas meyakinkan.

Seketika itu rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda sirna tak

berbekas. Baginda Raja Harun Al Rasyid memberi hadiah Abu Nawas dan

istrinya uang yang cukup banyak. (Kisah 1001 Malam Abu Nawas)

 
Leave a comment

Posted by on September 6, 2011 in Kisah Abunawas